Student Commuter: The WORST Trains on KRL Commuterline
Trains are supposed to transport its passengers from point A to B (or Station A to B) with relative ease and comfort. But these trains above are anything BUT comfortable.
So, where do I start on this one? Jadi, kereta yang kali ini akan gue bahas adalah seri Tokyu 8000 dan Tokyu 8500, dua jenis kereta, yang seperti kereta lainnya di KRL Commuterline, bekasan Jepang. That is, kereta-kereta ini dulunya pernah berdinas di Jepang. Khususnya untuk si dua jenis ini, mereka dulunya dioperasikan oleh Tokyu Corporation, sebuah perusahaan perkeretaapian swasta yang beroperasi di Tokyo dan sekitarnya. Tokyu 8000 sendiri diproduksi dari tahun 1969–1985, sementara Tokyu 8500 dari tahun 1975–1991. Kedua kereta ini mulai dioperasikan di Commuterline sejak kurang lebih tahun 2006. With the introduction’s over, now let’s get to why I wrote such a controversial title.
Pertama, contrary to what some might believe, kereta-kereta ini bukan yang paling bermasalah dari segi teknis di KRL Commuterline. After all, bukan merekalah yang berdinas di jalur Tanjung Priok, jalur yang terkenal berisikan kereta-kereta problematik (baca: sering mogok). Kedua, gue akan mencoba memasang sudut pandang sebagai penumpang biasa, bukan sebagai seorang railfans yang peduli ‘ooh dia dulu beroperasi di Mushashino Line’ atau ‘si Tokyo Metro 6005 masih chopper tuh, belum VVVF’. If you don’t understand what I just talked about, then yes, I’m going to try to fit into that perspective. Ketiga, let’s dive into why I loathe these trains. Mungkin biar memudahkan, gue panggil kedua seri ini secara kolektif ‘Tokyu’ aja ya. Dari segi pengalaman sebagai penumpang, menurut gue Tokyu ini adalah kereta yang tidak nyaman. Bahkan gue berani bilang paling tidak nyaman se-Commuterline. Alasannya? I’ll elaborate below.
Pertama, kereta ini tuh berisik banget. Seberapa berisik? Gue baru masuk aja nih, keretanya belum jalan, masih di Stasiun Jakarta Kota, kedengeran suara yang entahlah, mungkin suara mesin kali ya, suara kenceng dari bawah yang bikin ngobrol sama temen di kereta ini jadi agak susah. Gue yang mikir “halah bunyinya paling ilang pas udah jalan” TERNYATA ENGGAK DONG. Suaranya malah makin kenceng 🗿 dan kalau itu belum cukup, suara kipas AC dan sambungan antarkereta juga ikut memeriahkan orkestra klasik di dalam kereta ini. Dan itu pun sebelum roda kereta ngelewatin sambungan rel yang bikin suara berisik di bogie/suspensi kereta ini. Hands down, kereta paling berisik se-Commuterline. Bahkan si Tokyo Metro 05 yang berdinas di Tanjung Priok aja masih lebih kedap loh. Apalagi si JR 203 yang sering dipanggil ‘Obag’ karena geter-geter di dalemnya.
Kedua, getaran kereta ini bikin perjalanan ga bisa dinikmatin sedikitpun. Mau elu berdiri kek, duduk kek, tetep enggak ngaruh kata gue. Kereta ini geter banget. Kalau elu berdiri, gue jamin setiap keretanya keguncang, pasti elu langsung kehilangan keseimbangan, apalagi kalau enggak pegang handle di atas. Kalaupun elu duduk, kursi KRL yang terkenal empuk dibandingkan kursi MRT pun ga bakal kerasa, karena getaran tetep kerasa di pantat elu. Ya, bayangin aja elu naik motor Supra bapak yang batoknya geter. Kurang lebih sama lah. Getaran yang terus kerasa di kereta ini juga tentunya menjadi salah satu kontributor utama dalam suara berisik tadi yang udah gue jelasin. Ada guncangan dikit, jendela geter. Mana yang geter bukan cuma satu-dua lagi, bisa semua jendela di satu kereta. Menurut gue yang harusnya dipanggil ‘Obag’ mah harusnya si kedua Tokyu ini, bukan si JR 203. So, yeah, a really good Japanese vibrator from the 70's.
Ketiga, desain kereta ini udah ketinggalan jaman banget. Oke, mungkin poin gue ini akan mendapatkan banyak cercaan dari railfans penggemar Tokyu, but I don’t care. Di masa-masa sekarang di mana KRL Commuterline mengoperasikan beberapa kereta yang bukan buatan 1970 (anjir 1970, masih jaman Repelita Soeharto coy 💀), si Tokyu ini keliatan ketinggalan banget sih. Some might say it’s a classic, but I say it’s an obsolete design.
I mean, just look at the photo above. Gue yakin elu yang baca ini bisa langsung menentukan mana yang keliatan modern mana yang keliatan butut, kan? At the end of the day, Tokyu tetep keliatan paling tua. Antik? Nope, terlalu halus. Usang? Seems more like it.
Keempat, gue mau mencoba mengkomparasi Tokyu dengan kereta-kereta lain, berdasarkan pengalaman gue. JR 203? Ya panggilannya ‘Obag’ karena geter-geter, tapi enggak seberisik si Tokyu, juga kerasa lebih empuk. Tokyo Metro 05? Sure, dia emang penyakitan dan cuma ditaro di Tanjung Priok. But at least dengan dia ditaro di Tanjung Priok, perjalanannya kerasa lebih nyaman karena lebih empuk dan seri Tokyo Metro memang terkenal lebih kedap suara. Tokyo Metro 6000 dan 7000? Nope, mereka masih lebih nyaman daripada Tokyu. JR 205 dan Marchen? Come on, it’s not even a competition. Udah jelas JR 205 dan Marchen lebih nyaman.
Terakhir, gue disini mau bilang kalau di sini gue hanya sekedar menuangkan pendapat gue aja, and as much as I want them to, opini gue ya ga objektif, melainkan subjektif. Seperti halnya Jeremy Clarkson yang benci Toyota Prius ataupun Richard Hammond yang benci Nissan Juke, gue pun benci KRL Tokyu 8000 dan 8500. Can anyone change my mind? Nope, it’s pretty much already set in stone.
(Dan ya, ketika gue bilang mending gue telat ngampus daripada naik kereta jelek, inilah kereta jelek yang gue maksud.)