Student Commuter: Electric Cars are NOT the Answer

Hugo Chaska
4 min readApr 30, 2023

--

Here’s the opening line: Electric cars are like vapes; they’re smokeless but still problematic.

Sebelum kita mulai, gue mau cerita sedikit. Kemaren malem, gue naik Grab dari stasiun menuju rumah. Di perjalanan, gue kebetulan ngelewatin bus listrik dan iseng aja nyeletuk ke driver gue “Sekarang kalo lewat bus listrik enak ga kena asepnya ya mas,” yang kemudian dijawab “Iya mas tapi tetep aja ngeri kalo dia ngerem mendadak.” Gue dan driver gue pun kemudian berdiskusi mengenai kendaraan listrik. Intinya sih dia bilang kalo mobil listrik harganya masih kemahalan dan belum accessible untuk semua orang. This is only one of the problems that electric cars are facing here in Indonesia, as I will elaborate below.

Pertama, seperti yang mas driver gue udah bilang, harga mobil listrik masih relatif mahal. Meskipun mungkin untuk long-term ownership mobil listrik bisa lebih hemat daripada mobil bensin/diesel, tapi initial price-nya di dealer masih tergolong mahal untuk menjadi pertimbangan mayoritas masyarakat yang tertarik beli mobil untuk pertama kali. Here’s an example: salah satu pilihan mobil listrik yang paling murah di Indonesia adalah Wuling Air ev yang dibanderol dengan harga Rp243 juta untuk Standard Range. Dengan harga segitu, calon konsumen udah bisa dapetin mobil bensin yang lebih practical, kayak si Wuling New Confero S yang dibanderol mulai Rp203 juta aja. Setidaknya dengan Wuling Confero, anak-anak elu beserta barang bawaannya bisa muat di kursi belakang. Kalo pake Air ev? Wkwkwk, jangan harep. And sure, walaupun dengan harga pajak dan cas batere yang memang disubsidi supaya murah, menurut gue belum cukup sih untuk memenangkan hati para average calon konsumen baru di Indonesia. Selain itu, meskipun gue yakin harganya akan turun untuk tahun-tahun ke depan, untuk saat ini sih mobil listrik masih jadi ‘mainan orang kaya’; in other words, belum ada ‘mobil sejuta umat’ versi listrik (And no, the Hyundai Ioniq 5 is NOT comparable to a Toyota Avanza).

Kedua, let’s say mobil listrik sudah mencapai titik affordability yang setara dengan mobil bensin/diesel, namun apakah kehadiran mobil listrik akan menyelesaikan permasalahan kemacetan? YA TIDAK DONG. Mungkin polusi udara berkurang, tapi ya orang masih bermacet-macetan dong, bedanya sekarang pake mobil listrik aja. TAPI TETEP MACET 🗿. Lu pada kebayang ga sih, kalo Margonda isinya mobil listrik? Tetep macet kan? Orang-orang mungkin udah ga bakal pada kena kanker paru, tapi tetep aja telat kerja, telat ngampus, telat sekolah wkwkwk.

And here’s the answer I propose to the government and public sectors who are responsible: Electric Public Transport. Kuncinya itu. Kuncinya bukan Jawa ya, soalnya gue bukan D.N. Aidit. Menurut gue, kalo pemerintah dan pihak swasta yang terkait bisa melakukan pengadaan armada kendaraan umum listrik lebih banyak, itu akan menjadi investasi yang akan membuat masyarakat berterima kasih banget sih. Misalnya kayak di Transjakarta aja, tadi gue udah bilang kan di awal udah ada bus listrik. Nah yang kayak begitu dong ditambahin. Atau ya KRL aja deh, kendaraan yang udah dari jaman nyokap gue ngampus udah pake tenaga listrik tanpa embel-embel ramah lingkungan. Tambahin lagi dong armadanya, mau impor bekas Jepang kek, mau buatan INKA kek. Yang penting armadanya ditambah, dan Stasiun Manggarai ga jadi lautan manusia lagi setiap hari. Kenapa mengundang investasi mobil listrik kesannya gampang banget, giliran impor KRL bekas malah setengah mati susahnya? Kenapa giliran impor kereta, malah impor Kereta Cepat yang cuma nyambungin Jakarta-Bandung doang? Wait, I think I went off the rails there.

Di sini gue mau nambahin aja, bukannya gue bilang begini gue benci mobil listrik ya, tapi yang gue kesel ya investasinya aja yang terkesan dibesar-besarkan, melebihi investasi di transportasi umum yang di mana transportasi umum ini melibatkan kepentingan orang banyak loh, bukan cuma beberapa koko-koko di PIK yang udah punya Tesla Model 3 terus pengen nyobain Hyundai Ioniq 5 aja. Electric cars are NOT to save the planet, but to save the AUTO INDUSTRY. Ya soalnya kalo si Elon Musk nggak insiatif bikin Tesla Model S jadi mass-market electric car, mungkin mobil-mobil bensin/diesel udah dicekek duluan sama aturan-aturan emisi yang makin kesini makin ketat, apalagi di Uni Eropa yang terkenal rese.

Akhir kata, gue tetep kokoh pada pendirian gue kalo mobil listrik bukan jawaban persoalan kemacetan yang ada di perkotaan yah, karena jawabannya adalah transportasi umum listrik. Ayo lah pemerintah, kita jalin kerja sama bareng pihak swasta untuk pengadaan transportasi umum listrik yang emang dibutuhin sama orang-orang di perkotaan, jangan fokus ke mobil listrik aja. Dikit-dikit mobil listrik, dikit-dikit mobil listrik. Tapi Sudirman-Thamrin tetep macet, chuaksss.

--

--

Hugo Chaska
Hugo Chaska

Written by Hugo Chaska

I write stuff, whenever I feel like doing it. Mostly about public transport. Semua tulisan murni opini saya, tidak mewakili pihak tertentu.

No responses yet