(Fictional) E38

Hugo Chaska
5 min readJun 29, 2022

--

I wanna run away
Anywhere out this place…

The Ultimate Driving Machine. In other words, my attainable dream car. An old Beemer from the late ’90s, one that is actually quite reliable. Big V12 up front, luxurious leather seats in the back, what’s not to love? Okay, so I just got it last week after Yola encouraged me to buy it. She said that if it’s actually the one car that I yearned to have, then I should actually get my hands on one. So I did.

“Oke, dah sampe nih kita. Eh iya, minggu depan jadi nih?” tanyaku selagi mobilku mendekati rumah Yola.

“Kayaknya gue minggu depan harus ke COC deh, tapi gatau juga sih. Ntar gue kabarin aja yaa, see you!” jawab Yola sambil turun.

“Okee, see you!” jawabku sambil meninggalkan rumah Yola.

Aku baru saja mengantar Yola pulang. Jam di dashboard menunjukkan pukul 10 malam. Waktu yang terasa cepat berlalu, mengingat tadi kami sampai di PIK sekitar pukul 3 sore. What an amazing Saturdate. It was wonderful. Yola juga menyukai E38ku. Tak heran, mengingat kursinya sangat nyaman. Kemudian, aku pun pergi ke Pertamina terdekat untuk mengisi bensin. I’d say it’s one of this beauty’s only major flaws; no wonder why they call her ‘Sahabat SPBU’. 1/8 kota, 1/10 tol? Yang bener aje, gumamku setelah mengisi bensin. Tak lama setelah itu, aku mendapat telpon.

“Halo, Go? Tolongin gue dong, tolong anterin temen gue nih satu pulang,”

“Yah sorry bro, gue udah otw pulang ini, Ga ada orang lain apa?”

“Yah elah, elu mah gitu. Inget ga utang budi ke gue?”

“Wah bawa-bawa utang itu yee, yaudah emang siapa si orangnye?”

“Ada deh, gue ga mau sebut nanti lu ga mau anterin lagi,”

“Oh gitu, oke ga jadi ye,”

“Eh eh eh, utang lu?”

“Arghh, yaudeh, tapi utangnye lunas ye? Share loc, gece,”

Well, seems like this satnite’s gonna be a long one. Lagipula siapakah orang yang akan kuantar pulang? Teman yang kukenal? Entahlah, masih menjadi misteri. Aku pun segera menyalakan mesin dan pergi ke tempat yang dishare temanku. Sebentar, sebentar, lokasinya, Holywings Gatsu? Ah shit, here we go again.

So there I went, waiting in my E38, on the side of Holywings Gatsu. There I was, in a silver sedan parked waiting for an uncertain person. Jam menunjukkan pukul 12 malam. Beberapa orang mabuk sudah mulai keluar dan berkerumun di dekat tempat parkir. Ah yes, never stop flying, gumamku. Bugg! Tiba-tiba ada suara dentuman di belakang kiri mobilku. Ternyata itu adalah temanku bersama gengnya yang hendak menghampiriku dan menyerahkan orang yang harus kuantar pulang.

“Oke Go, nih dia ye, thank you,” kata temanku sambil membantu seorang perempuan duduk di kursi penumpang.

“Iyee, iyee. Eh bentar, bentar, barusan— ”

“Anterin pulang ye. Goodbye!

And then she sat down. Right next to me. I think she’s Chinese. She’s obviously drunk, with a smile on her face, probably not realising who’s bringing her home tonight. Green crop top, long jeans, and a glimpse of Chinese tattoos on her back? Hold on a minute, this girl I’m bringing home, is Rachel?

Jujur, momen ini terasa canggung. Last time I saw her, it was on the airport when she took off to Singapore with her new friends. Didn’t think she’d be back sooner; guess I was wrong. Tanpa pikir panjang aku langsung menyalakan mesin dan membawa mobil ke arah Blok M. Keknya doi masih tinggal di kosannya Ko Rendy deh, gumamku. But does she? Shit, how am I supposed to know? Ingin kutanyakan langsung, tapi kondisinya cukup meragukan. Bet she won’t give reasonable answers. Ah, fuck it. Imma ask her.

“Eee, pulang ke arah mana nih?” tanyaku ragu.

Shit, she’s asleep. Sepertinya aku harus membangunkannya.

“Chel? Pulang ke mana ini, hey?” tanyaku selagi sedikit menyenggol bahunya.

“Emmm, heh? Uhhh, B..Bandung? tanya Rachel yang masih mabuk.

“Heh, yang bener aje, masa ke Bandung jam segini?” tanyaku mencoba menyadarkannya.

“Emmm, sesuai ap..likasi aja….” lirihnya.

Sialan, gue dikira taksi online, gumamku. Aku pun memutuskan untuk mengabaikannya sementara ia perlahan kembali sadar. Lots of feelings flew by my head at the time. Shock, confusion, anger, fear, but also sympathy, compassion, and uhh, warmth? On one side I’m glad that I managed to meet her again, in person (albeit in this state), but on the other, shit, isn’t our relationship already over? Aku pun kemudian memutar lagu untuk menenangkan pikiranku; mungkin juga bisa kembali menyadarkan Rachel. Alone With You, by Alina Baraz.

“Ehh, hah, loh, kok?! Kok elu yang disini??” sadar Rachel kaget sambil menengok perlahan ke arahku.

“Iya, ini gue yang disuruh temen elu nganterin elu pulang,” jawabku.

“T-tapi, kata dia — “

“Udah, santai, ini kita ke kosan Ko Ren — “

“Kata dia taksi online yang jemput gue. Apa elu sekarang jadi supir taksi lagi?” tanya Rachel dengan nada sedikit meledek.

“Hehe, ya nggak lah, gue juga kaget ini kok ternyata elu yang gue anter pulang,” jawabku.

Bangsat. Bang, Sat. BANGSAT! Kami berdua sepertinya menggumamkan hal yang sama malam itu. Rachel yang kaget dia akan diantar pulang olehku, dan aku yang kaget ternyata orang yang kuantar pulang adalah Rachel. Kami pun sama-sama mencoba membuang muka dari pandangan masing-masing. Just imagine, we already ‘broke up’ and resumed our lives. But then here we are, our lives paused to meet each other again. Shit.

Malam itu hujan mulai turun perlahan dan membasahi semua orang di jalanan. Motor-motor mulai ngebut dan mencari tempat berteduh. And there I sat, in the driver seat, looking at Rachel staring into the rainy night sky. Wow, she’s still the same girl. Even with those tattoos and new friends, she stays soft in moments like this. And that haircut? Granted, it’s not my favourite, but it stays true to her shorthaired tradition that started around 2 years ago. Goddamit, I still have a soft spot on her.

Hey, still thinking ‘bout me?” tanya Rachel tiba-tiba memecahkan lamunanku.

Uh, um, yes, tapi— “

“Tapi apa? Ngaku aja, elu cuma jadiin doi pelarian aja kan?”

“Um, ehh, mungkin? I still think about you, Chel. All the time.” jawabku jujur.

“Nah, kan, males deh. Sesusah itukah move on dari gue?” tanyanya heran.

“Yaa, enggak juga sih, tapi—”

Tiba-tiba notifikasi muncul di handphoneku. Terlihat foto Rachel yang masih menjadi wallpaper.

“Tuh kan, mana masih pake foto gue lagi. Udahlah, ganti aja,” kata Rachel sambil melihat handphoneku.

“Iya iya, maaf. Abis elunya cakep banget sih bangsat,” belaku.

“Udahlah, ganti aja fotonya. Gue juga kadang masih mikirin hubungan kita dulu kok. Tapi yang berlalu udahin aja,” kata Rachel dengan halus.

Mobil pun sampai di depan kosan Ko Rendy. Untung saja hujannya sudah berhenti. Rachel pun turun dan pamit.

Thank you ya, by the way, udah mau nganterin gue. Good luck buat relationship elu ke depannya,” kata Rachel.

You’re welcome! Sorry ya kalo gue bikin elu jadi ga nyaman tadi,”

“Hehe, it’s fine!. Dadahh,” pamit Rachel sambil menutup pintu mobilku.

Mobil pun perlahan meninggalkan tempat itu. Damn, I just bought this car and already made history on it. Well, guess she was right. Guess I have to let her go. But letting go doesn’t mean we can’t be friends anymore, right? I don’t know. What a tiring night.

I wanna run away
Just you and I, I, I, I, I
You and I, I, I, I, I….

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Hugo Chaska
Hugo Chaska

Written by Hugo Chaska

I write stuff, whenever I feel like doing it. Mostly about public transport. Semua tulisan murni opini saya, tidak mewakili pihak tertentu.

No responses yet

Write a response